terkini

Pilkada Kubar : Menanti Kelahiran Hamba Masyarakat

Selasa, 08 September 2020, 1:03:00 AM WIB Last Updated 2020-09-08T01:54:27Z

(Foto ilustrasi dari google.com)

Model kepemimpinan modern yang digagas oleh Greenleaf adalah Servant Leadership. Pemimpin merupakan seorang hamba atau pelayan. Model kepemimpinan "hamba" ini, erat kaitannya dengan spiritualitas, secara khusus yang diulik oleh tulisan ini, spiritualitas politik.


Spiritualitas Politik


Berbicara tentang spiritualitas politik pasti tidak sedikit politolog  dan politisi akan mengerit kening. Apakah politik punya spiritualitas? Bukankah spiritualitas itu hanya pada ranah metafisik, keagamaan? 


Spiritualitas berasal dari kata Spiritus (Latin) yang arti hurufiahnya roh atau semangat. Dalam pengertian agamis Roh itu merujuk pada Allah. Spiritualitas politik berarti berurusan dengan "kesucian politik". Namun, menyebut politik itu suci, banyak orang skeptis dan sanksi. Karena praktek politik selama ini lebih cendrung kepada kekuasaan dan monopoli ekonomi. 


Padahal politik dari sananya sangat bermarwah dan bermartabat. Seluruh sendi kehidupan manusia terpaut dengan politik. Bahkan mereka yang anti terhadap politik disebut Aristoteles sebagai kelompok   bar-bar atau kelompok ideot. Sayangnya, pernyataan Aristoteles ini dan keluhuran politik, dinodai oleh para politikus yang picik dan tamak.


Tetapi menariknya, Demokrasi Pancasila telah menempatkan religiositas pada nomor pertama dasar negara. Sila Ketuhanan yang Maha Esa, tentu dengan akal sehat,  Bapak Bangsa, menempatkannya pada urutan pertama. Itu sengaja mau menunjukan bahwa sistem demokrasi di Indonesia, tidaklah sekularisme, tetapi di topang oleh  spiritualitas. Spritualitas dalam agama dan kebudayaannya. 


Di Indonesia semua politikus berasal dari keyakinan tertentu, bahkan pelantikan para pejabat dengan serimonial yang suci, pengambilan sumpah. Pejabat bersumpah pada Allah dan sesamanya. Namun,  apakah spiritualitas mewarnai kepemimpinan mereka? Apakah  sungguh dihayati dalam prakteknya? 


Apapun agamanya, spiritualitas bersifat universal, bukan keberpihakan pada sebuah golongan. Spiritualitas Kristiani misalnya bukan berbicara keberpihakan pada golongan kristen,  atau hanya membangun gedung berdoa. Bukan! 


Kita bisa melihat negara-negara Barat yang maju, tak terbantahkan bahwa spiritualitas Kristiani menjadi tradisi yang laten dalam peradaban mereka. Pembangunan manusia yang unggul berakar pada  konsep spiritual :  manusia adalah citra ilahi. Konsep HAM juga didasarkan pada konsep ini. Bahkan sampai pada konsep humanisme radikal.


Pemerataan dan distribusi keadilan berangkat dari konsep cinta kasih dan solidaritas. Begitu juga konsep kepemimpinan berakar pada semangat melayani.


Spiritualitas menjadi penggerak kepemimpinan dan menjiwai program yang berorientasi pada penghormatan atas martabat kehidupan yaitu kesejahteraan umum. Absennya spiritualitas, menjadikan politik sebagai kubangan kotor, penuh tipu muslihat, sebatas perjuangan golongan, perjuangan sekterian dan untuk mengamankan aset dan bisnis saja. 


Bahkan tak segan seringkali  keyakinan dikangkang demi mencapai kekuasaan,  mengikuti dengan tepat instruksi berpolitiknya Machiavelian bahwa berpolitik itu in perse memonopoli kekuasaan dan hegemoni semata, dengan menghalalkan berbagai cara. 


Spiritualitas politik yang baik akan memunculkan para pendekar atau pahlawan masyarakat. Dalam konteks pilkada di Kubar, spiritualitas politik akan membentuk seorang "Bapak Orang Kubar" yang dikenang karena kepemimpinan dan karyanya dari generasi yang satu ke generasi yang lain. 


Ya, pemimpin yang kuat dalam spiritualitasnya akan membawa perubahan nyata dan secara gamblang dirasakan, dipercakapkan di tengah masyarakat. Pribahasa mengatakan bukan harta yang akan dikenang dan terlekang, tetapi jasa. Jasa membangun masyarakat. 


Melayani


Aspek penting dalam spiritualitas politik juga adalah konsep kepemimpinan :  pemimpin sebagai pelayan masyarakat. Politik secara substantif memang merupakan sarana untuk melayani rakyat bagi kepentingan umum. Kesejahteraan umum itu hukum tertinggi (Salus populi suprema lex). 


Ribuan tahun lalu bahkan aristoteles mengatakan, politik itu adalah "art architecture" (Seni membangun) masyarakat. Seni itu memiliki dimensi teknis dan non teknis. Bahkan kekuatan seni itu berada pada kekuatan imajinasi 


Servant Leadership diusung oleh Greenleaf sebagai model kepemimpinan modern.  Konsep ini sangat kental berakar pada spiritualitas kristianisme. Pemimpin adalah hamba atau pelayan. Maka kritik bagi pemimpin kristiani adalah sudahkah mereka menjadi pelayan masyarakat? 


Konsep pemimpin pelayan (servant leader) ini juga sangat kompatible dengan demokrasi, yang mana pemimpin merupakan amanah masyarakat. Masyarakat sebagai tuan pemberi amanah. Bukan melahirkan leviatan yang apatis, rakus, dan tidak peduli.


Sebagai servent leader, seorang pemimpin menempatkan "hatinya" terlebih dahulu untuk melayani rakyat. Ia terpanggil dari suatu keprihatinan sosial yang ada di tengah masyarakat. Keterpanggilan ini memang merupakan tahap afektif. Ia memiliki afeksi yang kuat untuk menolong dan membangun masyarakat. 


Setelah afeksi sosial terbentuk, ia masuk ke ranah pelayanan. Melayani masyaratkan adanya kecakapan dan profisionalitas mumpuni. Bagaimana mungkin seorang bisa melayani dengan baik tanpa kecakapan? 


Bila ditarik lebih lanjut, dalam konsep pemimpin sebagai pelayan atau hamba, yang seharusnya terjadi menempatkan orang pada tempatnya yang benar dan memiliki : hard skill dan soft skill yang unggul, serta profisionalitasnya teruji. Tidak bisa menempatkan seorang pada posisi srategis berdasarkan sumbangsih atau kontribusi politis pada masa pemenangan. Kalaupun toh ada barter seperti itu maka tetap menjunjung tinggi profesionalitas dan integritas. 


Kalau tidak begitu, kita kembali bertanya bagaimana bisa melayani kompleksitas kebutuhan masyarakat, tanpa kecakapan dan profesionalitas? Bagaimana bisa maju dan berkembang. Bagaimana hari besok lebih baik? Warkop saja butuh barista yang terkualifikasi. Nah tidak mungkin mengurus pemerintahan seperti mengurus wartek. 


Dalam konteks Pilkada di Kutai Barat, tugas berat untuk melahirkan pemimpin yang melayani, ada pada pundak masyarakat dan partai politik. Tanggungjawab Partai Politik adalah pengkaderan kepemimpinan yang unggul. Parpol harus menjadi sekolah pengkaderan politikus. Sedangkan tanggungjawab masyarakat menentukan pemimpin yang melayaninya dengan baik dan mencermati setiap programnya, kemudian memilihnya. 


Menjawab Persoalan


Muara dari spiritualitas politik pemimpin sebagai pelayan adalah pada keadilan, kebaikan dan kesejahteraan masyarakatnya.


Oleh karena itu, pemimpin harus mengidentifikasi persoalan masyarakat yang adalah tuannya. Kecendrungan dan kegelisahan masyarakatnya apa? Tanpa itu, bagaimana ia membuat program yang membumi untuk melayani masyarakat dengan baik.


Misalnya, perkembangan teknologi mestinya membawa sistem tata kelola dan pelayanan yang transparan, e-budgeting/keterbukaan birokrasi dan program-program kerja yang realible.


Yang namanya program kerja tidak boleh ditulis dalam term yang abstrak. Memang program kerja beralaskan konsep kerja yang jelas. Konsep kerja misalnya memperkuat sektor pertanian, maka programnya harus jelas dan bisa di ukur keberhasilannya dalam satu periode. Kalau tidak itu hanya selogan dan hasilnya pun kabur, tak terukur.


Contoh lain, bagaimana memperkuat pertanian rakyat di Kubar, sementara persoalan tumpang tindih antara lahan konsesi dan lahan masyarakat, kerap kali menjadi keluhan dan konflik di tengah masyarakat? 


Begitu juga dalam pembangunan pariwisata dan jalan desa, bagaimana membedakan antara Dana Desa dari pusat dan program pemerintah daerah untuk desa?  Demikian juga terkait pariwisata apakah dikelola oleh Dinas Pariwisata Daerah atau swa kelola Desa Mandiri yang dananya dari Pusat? Ini hanya contoh saja.


Maka untuk melayani masyarakat dengan tingkat kompleksitasnya, perlu kejelasan dalam membuat program dan bisa diukur kesuksesannya dalam satu periode kepemimpinan.


Dalam Pilkada kali ini, kita berharap petahana Yakan Jilid II menjelaskan capaian politiknya dan program berkelanjutan atau berkesinambungan. Hemat saya ini menjadi bahan kampanye yang unggul. Jelaskan pencapaiannya dan apa yang belum terealisasi. Sehingga masyarakat sebagai pemilih bisa menentukan pilihannya. 


Sementara untuk pendatang baru Gerbang MAS, harus memiliki data yang kuat dan konsep pembangunan daerah serta menawarkan solusi yang jitu untuk berbagai persoalan daerah di Kutai Barat. Program unggulan harus dikedapankan dan langsung dirasakan oleh masyarakat. 


Genderang pilkada mulai ditabuh. Masyarakatlah yang harus menentukan pelayannya (pemimpin). Sebab pilkada menentukan nasib dan perkembangan daerah Kutai Barat beberapa tahun kedepan. Adil bagi semua orang, bercermin pada nilai luhur surgawi dan sejahtera. Salam Sempekat!

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Pilkada Kubar : Menanti Kelahiran Hamba Masyarakat

Terkini

Topik Populer