M.M. Rudi Ranaq,S.H.,M.Si -Advokat, dari kampung benung, Kutai Barat, Kaltim |
Oleh M.M. Rudi Ranaq,S.H.,M.Si -Advokat, dari kampung benung, Kutai Barat, Kaltim
Beritakubar.com, Kutai Barat - Bagi masyarakat Dayak yang masih menjalankan praktek perladangan sebagai mata pencaharian dengan cara membakar lahan, termasuk kami, dipastikan akan berhadapan dengan hukum positif. Tentu hal ini cukup mengganggu rasa keadilan yg terpelihara baik di tengah masyarakat dengan local knowledge yang arif selama ini.
Di kalangan masyarakat suku Dayak Tonyooi dan Benuaq, kearifan lokal tersebut dikenal dengan nama ngeladakng (membuat sekat api), di samping ada tata cara membakar dengan melihat arah angin.
Regulasi hukum positif, tak pelak akan menggeser budaya perladangan gilir balik (shifting cultivation) menjadi "budaya lain" dalam tata kelola pertanian masyarakat adat suku Dayak kini dan di masa mendatang.
Suka atau tidak suka, saat ini masyarakat Dayak berhadapan dengan pilihan. Tetap menjalankan kegiatan perladangan dengan cara membakar dan akan berhadapan dengan hukum atau beralih metode melalui cara berladang tanpa membakar, atau bahkan beralih profesi sebagai tidak lagi sebagai peladang? Masalahnya, siapkah masyarakat Dayak Peladang System Gilir Balik berubah profesi atau minimal mengelola lahan pertanian tanpa membakar.
Perlu kemampuan beradaptasi secara tepat dalam menyikapi kondisi ini. Perubahan dimaksud minimal alih teknologi dengan cara mengelola tidak membakar.
Tulisan sangat singkat ini bermaksud agar masyarakat mengetahui secara pasti bahwa pengelolaan lahan terkait dengan permasalahan api, sekarang diatur oleh negara melalui aturan hukum yang tegas. Tantangan kita adalah bagaimana cara mengelola lahan pertanian kita tanpa harus berhadapan dengan aturan hukum.
Ada 4 aturan yang mengatur tentang permasalahan api dalam konteks lahan dan hutan ini yakni: Undang2 Kehutanan, Undang2 Lingkungan Hidup, Undang2 Perkebunan dan KUHP. Berikut adalah serentetan larangan dan sangsi yang penulis catat sebagai instrumen yang mengikat kepada siapa pun yang melanggar larangan membakar hutan/lahan, yakni:
1). Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:
Pasal 50 ayat (3) huruf d : Setiap orang dilarang membakar hutan
Pasal 78 ayat (3) :
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 78 ayat (4) :
Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
2). Undang Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 69 ayat (1) huruf h :
Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
Pasal 108 :
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 69 ayat (2) :
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing masing. Penjelasan Pasal 69 ayat (2) : Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
3). Undang undang No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan
Pasal 56 (1) : Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.
Pasal 108 :
Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
4). Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 187
Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
- dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;
- dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
- dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan meng- akibatkan orang mati.
Pasal 189
Barang siapa pada waktu ada atau akan ada kebakaran, dengan sengaja dan melawan hukum menyembunyikan atau membikin tak dapat dipakai perkakas-perkakas atau alat- alat pemadam api atau dengan cara apa pun merintangi atau menghalang-halangi pekerjaan memadamkan api, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Dengan regulasi yuridis yang sangat ketat ini, diduga kuat budaya perladangan system membakar akan punah secara pelan-pelan. Atau mungkin juga masih bertahan, tetapi dilakukan dengan cara alih teknologi pertanian dengan cara modern. Menurut seorang cendikiawan dan antropolog Dayak Benuaq dari Kampung Engkuni Pasek, yang juga seorang dosen, Martinus Nanang, perladangan sistem membakar ini cepat atau lambat akan hilang dengan sendirinya (diskusi bebas dg penulis sabtu 7 September 2019) karena masyarakat tidak lagi melakukannya.
Pertanyaannya, apakah kepunahan cara ini dapat dan atau mampu dipahami sebagai perubahan kebudayaan secara positif, sebagai bentuk akibat daya penyesuaian atau daya adaptasi terhadap adanya penetrasi dan penerapan hukum, atau apakah karena adanya kesadaran instrinsik dari komunitas masyarakat Dayak pada umumnya dan pegiat ladang gilir balik pada khususnya untuk sebuah perubahan pola hidup?
Semua pemerhati hukum dan kebudayaan, dan publik tentunya harus mampu memberikan pemaknaan yang konstruktif terhadap kondisi ini, sehingga adjustment kebudayaan dapat berdampak pada peningkatan pendapatan peladang/pekebun, yang juga tentunya diharapkan bersifat tidak melanggar hukum. Semoga. (*).