Penulis, Rudi Ranaaq |
Riuh rendah hijrahnya ibu kota negara ke Kaltim berpengaruh besar terhadap status kepemilikan lahan. Mulai hak perorangan, subjek hak milik, hingga terjadinya hak milik tanah adat. Ini di dasari dengan Undang-Undang (UU) NO 5 TAHUN 1960 Tentang Pokok Agraria serta Peluang Individualisasi Hak Kolektif/Adat, menjadi sebuah hak personal melalui program pendaftaran tanah sistem lengkap (PTSL).
Penulis, Advokat M.M. Rudi Ranaq, S.H.M.Si
TULISAN sederhana ini memaparkan tentang hak kepemilikan atas sebidang tanah. Di awali dengan hak perorangan, ini diberikan kepada seseorang atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak ulayat suatu persekutuan adat. Hak ini termasuk dalam hak ulayat, dan merupakan hak pribadi yang sangat mendasar atas lingkungan tanah dari masyarakat hukum adat, dimana seseorang menjadi anggotanya.
Hak perorangan ini bersendikan terhadap hak milik (eigendom). Karena itu, perlu penegasan yang berlandaskan undang-undang. Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga apa pun alasannya hak milik terdaftar. Status hak kepemilikan sudah pasti punya dasar yang kuat. Status kepemilikan juga dapat di alihkan, atau diwariskan kepada ahli warisnya. Dalam Pasal 20 UUPA, dapat juga dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat sesuai Pasal 20 jo. Pasal 26 UUPA. Sejatinya, hal demikian menjadi barometer para pebisnis. Mereka dapat menjadikan tanah milik ini sebagai induk dari hak-hak atas tanah yang lainnya. Artinya, dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, dan hak menumpang.
Di mata hukum negeri ini, hak milik suatu bidang atau tanah tidak di berikan kepada warga negara asing. Hanya warga negara Indonesia yang dapat menjadi subyek hak milik, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 21 UUPA: (1) Hanya warga Regara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. (3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarga¬negaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu.
Terlepas jangka waktu yang telah ditentukan, maka hak tersebut luntur oleh hukum yang berlaku, kemudian jatuh kepada negara. Dengan ketentuan berikut, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kcwarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini.
Nah, yang sangat penting mau kami katakan dalam ulasan singkat ini, bahwa terjadinya hak milik atas tanah merupakan rangkaian pemberian hak atas tanah yang diatur di dalam Pasal 22 UUPA yang berbunyi: (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pe-merintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hak milik terjadi karena: penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetap¬kan dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini secara teknis diatur dalam Permen Agraria Nomor 5 Tahun Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Kesimpulannya, penguasaan kita atas tanah baik perorangan dan atau pun kolektif adat haruslah didaftarkan ke Pemerintah sesuai perintah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Untuk tanah yang sifatnya perorangan, maka alas hak tertinggi adalah sertifikat hak milik (eigendom). Karena itu, PTSL (Pendaftaran Tanah System Lengkap) adalah peluang terbaik untuk melegalkan tanah milik perorangan dan atau tanah waris, tanah adat yang belum mendapatkan status hukum dari Pemerintah sebagai strategi mempercepat proses birokrasi dalam individualisasi hak secara personal. Tetapi untuk yang masih dalam bentuk kepemilikan kolektif, masih menyisakan pekerjaan lanjutan jika tidak melakukan pendekatan individualisasi, yaitu proses legalisasi melalui penelitian dan pada akhirnya bila dinyatakan ada hak adat atas territorial tsb, baru disahkan dengan legal standing Peraturan Daerah.
Para pemangku jabatan di Provinsi Borneo ini, saling bergandengan untuk melindungi hak masyarakat hukum adat atas tanah, yang diikat dalam peraturan daerah. Sangat disayangkan, jika di antara pemimpin daerah di Kaltim, memanfaatkan momen ini untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu, perlindungan dan kepastian hukum terhadap eksistensi hak masyarkat hukum adat, menjadi lenyap. Efek domino pemindahan ibu kota negara ini, seharusnya membawa dampak positif pembangunan secara merata, demi terciptanya kehidupan yang damai, sejahtera adil dan makmur, dan tidak justru memarginalkan mereka dari tanah-tanah mereka secara sistimatis dan struktural. (Rudi Ranaaq)